Jumat, 12 November 2010

cerpen : mata hati

Mata perempuan itu adalah mata yang paling indah yang pernah aku lihat seumur hidupku. Bola mata hitamnya memancarkan ketulusan dan kecantikan sejati. Sayangnya aku hanya bisa memandang mata itu dari jauh. Lovani namanya. Perempuan yang sejak tiga mainggu yang lalu pindah rumah ke sebelah rumahku.
“Gana!” panggil Ibuku dari lantai bawah. “Udah bangun belum?”
“Udah Bu.”
“Ayo ke bawah, bantuin Ibu”
“Iya Bu.” Kataku lagi. Sebenarnya aku masih ingin mengagumi perempuan yang sedang beryoga di beranda sebelah kamarku. Aku turun ke lantai bawah dan menghampiri Ibuku, “Ada apa Bu?”
“Kamu ke tetangga sebelah ya, Ibu mau ngasih kue ini ke Bu Lasri, enggak enak belum nagsih apa-apa ke tetangga baru kita”
“Tetangga kita yang baru Bu?”
“Iya, ya kalau nggak mau ya juga nggak apa-apa”
“Mau Bu, mau banget!”
Ibuku bingung kenapa aku mau padahal sebelumnya aku paling malas pergi ke tetangga. Tanpa buang waktu aku langsung mengambil kue yang ada di tangan Ibu dan langsung pergi ke tetangga sebelah.
Aku mengetuk pintu dan Bu Lasri yang membuka pintu. “Eh nak Gana, ada apa?”
“Ini Tante, ada kue dari Ibu.”
“Oh, terima kasih ya, silahkan masuk dulu, kebetulan ada Lovani, dia ada di dekat kolam renang”
“Makasih Tante” kataku. Sip, ini kesempatan buat kenalan masa Lovani, selama ini aku Cuma tahu namanya dari Ibu, liat orangnya aja baru tiga hari yang lalu. Aku menuju kolam renang dan ku lihat Lovani sedang duduk di tepi kolam dengan kaki masuk ke air.
Aku baru mau menyapa tapi pertanyaan Lovani sudah membuatku keget, “Siapa disitu?”
“Aku Gana, anak sebelah rumah, kamu Lovani khan?”
“Oh, kamu yang namanya Gana” jawabnya tanpa berbalik untuk melihatku
“Iya, boleh duduk di sebelah kamu? Aku lagi nunggu piring dari mama kamu”
“Boleh kok, silahkan” jawabnya ramah namun lagi-lagi ia tidak melihatku. Aku duduk si sebelahnya dan ikut-ikutan memasukan kakiku ke dalam kolam. Lovina sangat cantik jika di lihat dari dekat, terlebih lagi matanya. Dia menatap lurus kedepan.
“Kamu masih sekolah?” tanya Lovani
“Baru lulus tahun ini, kamu sendiri?”
“Yah..aku setahun lebih tua darimu, kamu bisa simpulkan sendiri”
“Oh” kataku. Aku tak mengerti maksudnya. Lovina memang gadis yang berbeda.
“Aku suka mendengar suara gitar, itu kamu yang mainin?”
“Eh? I-iya”
“Lagunya bagus” pujinya tanpa memandangku
“Maaf, jika berbicara dengan seseorang bukankah kau harus melihat orangnya?” kataku akhirnya kehilangan kebasaran. Kesal juga lama-lama tidak dilihat.
“Ya, tentu saja kau harus begitu, jika kau bisa melihat”
“Hah?”
Lovina menghadap ke arahku, baru kali ini aku melihat mata indahnya dari jarak sedekat ini, aku menatap matanya namun matanya tak melihatku. Aku menyadari sesuatu yang tak kusadari sebelumnya.
“Aku buta sejak lahir, jadi aku sekolah di rumah, aku jarang bisa berbicara dengan orang, aku senang sekali bisa ngobrol dengamu.
Aku sedikit terkejut, mata yang begitu indah tidak bekerja seperti seharusnya, mungkin ini yang namanya tak ada manusia yang sempurna.
“Gana?”
“Eh?” aku tersadar dari lamunanku
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa, aku hanya mengagumi matamu yang indah”
“Ou ya?” tanyanya sambil tersipu, sungguh indah senyumnya. “Biasanya orang-orang akan langsung pergi saat tahu aku buta, kau juga akan begitu?”
“Gana, piringnya sudah nih” panggil Bu Lasri
“Ya, aku akan pergi” kataku
“Oh.” Katanya dengan raut wajah kecewa.
“Karena aku harus mengembalikan piring Ibuku, tapi aku akan kembali nanti malam, kau ada janji?” canda ku
“Ehm..aku liat jadwalku dulu ya, yah..kurasa tidak ada” balasnya sambil tersenyum
“Jam 7 aku akan datang dengan gitarku.”
“Aku tunggu” katanya.
Aku meninggalkan rumah itu. Aku samasekali tidak menyangka kalau perepuan yang mempunyai matanya yang begitu indah tidak bisa melihat. Tapi aku tak akan menyerah karena hal yang segampang itu. Karena aku percaya, hatinya bisa melihat hatiku, karena matanya sejernih hatinya.

Tidak ada komentar: