Mata perempuan itu adalah mata yang paling indah yang pernah aku lihat seumur hidupku. Bola mata hitamnya memancarkan ketulusan dan kecantikan sejati. Sayangnya aku hanya bisa memandang mata itu dari jauh. Lovani namanya. Perempuan yang sejak tiga mainggu yang lalu pindah rumah ke sebelah rumahku.
“Gana!” panggil Ibuku dari lantai bawah. “Udah bangun belum?”
“Udah Bu.”
“Ayo ke bawah, bantuin Ibu”
“Iya Bu.” Kataku lagi. Sebenarnya aku masih ingin mengagumi perempuan yang sedang beryoga di beranda sebelah kamarku. Aku turun ke lantai bawah dan menghampiri Ibuku, “Ada apa Bu?”
“Kamu ke tetangga sebelah ya, Ibu mau ngasih kue ini ke Bu Lasri, enggak enak belum nagsih apa-apa ke tetangga baru kita”
“Tetangga kita yang baru Bu?”
“Iya, ya kalau nggak mau ya juga nggak apa-apa”
“Mau Bu, mau banget!”
Ibuku bingung kenapa aku mau padahal sebelumnya aku paling malas pergi ke tetangga. Tanpa buang waktu aku langsung mengambil kue yang ada di tangan Ibu dan langsung pergi ke tetangga sebelah.
Aku mengetuk pintu dan Bu Lasri yang membuka pintu. “Eh nak Gana, ada apa?”
“Ini Tante, ada kue dari Ibu.”
“Oh, terima kasih ya, silahkan masuk dulu, kebetulan ada Lovani, dia ada di dekat kolam renang”
“Makasih Tante” kataku. Sip, ini kesempatan buat kenalan masa Lovani, selama ini aku Cuma tahu namanya dari Ibu, liat orangnya aja baru tiga hari yang lalu. Aku menuju kolam renang dan ku lihat Lovani sedang duduk di tepi kolam dengan kaki masuk ke air.
Aku baru mau menyapa tapi pertanyaan Lovani sudah membuatku keget, “Siapa disitu?”
“Aku Gana, anak sebelah rumah, kamu Lovani khan?”
“Oh, kamu yang namanya Gana” jawabnya tanpa berbalik untuk melihatku
“Iya, boleh duduk di sebelah kamu? Aku lagi nunggu piring dari mama kamu”
“Boleh kok, silahkan” jawabnya ramah namun lagi-lagi ia tidak melihatku. Aku duduk si sebelahnya dan ikut-ikutan memasukan kakiku ke dalam kolam. Lovina sangat cantik jika di lihat dari dekat, terlebih lagi matanya. Dia menatap lurus kedepan.
“Kamu masih sekolah?” tanya Lovani
“Baru lulus tahun ini, kamu sendiri?”
“Yah..aku setahun lebih tua darimu, kamu bisa simpulkan sendiri”
“Oh” kataku. Aku tak mengerti maksudnya. Lovina memang gadis yang berbeda.
“Aku suka mendengar suara gitar, itu kamu yang mainin?”
“Eh? I-iya”
“Lagunya bagus” pujinya tanpa memandangku
“Maaf, jika berbicara dengan seseorang bukankah kau harus melihat orangnya?” kataku akhirnya kehilangan kebasaran. Kesal juga lama-lama tidak dilihat.
“Ya, tentu saja kau harus begitu, jika kau bisa melihat”
“Hah?”
Lovina menghadap ke arahku, baru kali ini aku melihat mata indahnya dari jarak sedekat ini, aku menatap matanya namun matanya tak melihatku. Aku menyadari sesuatu yang tak kusadari sebelumnya.
“Aku buta sejak lahir, jadi aku sekolah di rumah, aku jarang bisa berbicara dengan orang, aku senang sekali bisa ngobrol dengamu.
Aku sedikit terkejut, mata yang begitu indah tidak bekerja seperti seharusnya, mungkin ini yang namanya tak ada manusia yang sempurna.
“Gana?”
“Eh?” aku tersadar dari lamunanku
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa, aku hanya mengagumi matamu yang indah”
“Ou ya?” tanyanya sambil tersipu, sungguh indah senyumnya. “Biasanya orang-orang akan langsung pergi saat tahu aku buta, kau juga akan begitu?”
“Gana, piringnya sudah nih” panggil Bu Lasri
“Ya, aku akan pergi” kataku
“Oh.” Katanya dengan raut wajah kecewa.
“Karena aku harus mengembalikan piring Ibuku, tapi aku akan kembali nanti malam, kau ada janji?” canda ku
“Ehm..aku liat jadwalku dulu ya, yah..kurasa tidak ada” balasnya sambil tersenyum
“Jam 7 aku akan datang dengan gitarku.”
“Aku tunggu” katanya.
Aku meninggalkan rumah itu. Aku samasekali tidak menyangka kalau perepuan yang mempunyai matanya yang begitu indah tidak bisa melihat. Tapi aku tak akan menyerah karena hal yang segampang itu. Karena aku percaya, hatinya bisa melihat hatiku, karena matanya sejernih hatinya.
a Fairy tale Catcher, Time and Place Traveler, and soon-to-be Dream Achiever
Jumat, 12 November 2010
cerpen : semua ada waktunya
Selesai Sholat aku duduk di pinggir aula sekolahku. Aku memakai sepatu sambil melihat ke arah gedung sekolahku. Jantungku seperti ingin berhenti saat aku melihat sosok yang amat ku kenal. Hari ini aku lihat ia menangis. Lagi. Mengapa ia sering sekali mengangis. Kali ini ia berdiri sendiri di lantai dua sambil berlinang air mata. Ku tekankan sekali lagi, SENDIRI.
Mengapa aku tidak menghampirinya? Yah, karena aku tak bisa. Jika aku bisa, tentu aku akan segera naik ke lantai dua, langsung memeluknya dan menghapus tangisnya.
“Ben, ngapain lo ngelamun disini?” Aryan yang langsung duduk di sebelahku, sepertinya dia habis sholat, “Udah sholat?”
“Udah. Gw bukan ngelamun, tapi gw lagi ngeliatin bidadari gw!”
“Bidadari?” tanya Aryan yang sedang memakai kaus kaki.
“Iya, itu tuh, si Kayla.”
“Ya ampun Ben, masiiih aja lo ngeliatin cewek yang udah punya cowok. Sebagai sahabat lo gw ngerasa kasian.”
Aku terdiam. Tau khan kenapa aku tak bisa menghampirinya. Ya, Kayla udah pacar dan aku yakin sekali, kali ini pun pasti si brengsek Ryo yang membuatnya menangis.
“Samperin gih.” kata Aryan
“Buat apa?”
“Ya kalo elo diem aja, mana dia tau lo naksir dia sejak kelas 6 sd! Udahlah samperin aja.”
“Iye gw samperin dia dan gw akan terlihat amat tolol pas gw nyamperin dia trus Ryo datang dan menghancurkan semuanya.
Aryan tertawa. “Iya-ya. Lo khan kalah banget sama Ryo. Dia tinggi, lo..”
“Setidaknya gw lebih putih.”
“Dia pinter, lo..”
“Gw lebih jago basket dari dia.”
“Dia ganteng, lo..”
“Jangan salah, gw lebih kiyut gitu loh..” sahutku sambil bergaya banci
“Najis lo ah. Ini nih yang paling lo kalah dari dia.”
“Paan?”
“Kayla sayang banget ma dia dan Kayla juga ceweknya.”
“Udah ah, makin patah semangat gw. Balik yu.”
“Ngapain lo ngajak balik gw?”
“Biasa..”
“Biasa paan?”
“Nebeng-nebeng” kataku sambil tersenyum
“Sialan lo.”
***
“Benji!” panggil seseorang.
Hatiku berdegup amat kencang dan aku berbalik.
“Benji tunggu!” teriak Kayla sambil berlari-lari kecil.
Dia sampai di hadapanku dengan sedikit terengah, wajahnya memerah dan penuh keringat.
“Darimana lo? Kok kacau banget gini? Abis nguli dimana?”
“Sialan lo. Gw abis dari lantai 3, lo gw panggil-panggil juga dari tadi kaga berenti-berenti.”
“Sori, bisa suara lo kecil sih, sama kaya orangnya, jadinya gw ga denger dan ga liat lo deh.”
“Benji rese!” katanya sambil mengacak-acak rambutku sambil berjinjit-jinjit.
“Anak kecil nggak usah sok tinggi.”
“Biar kecil banyak yang suka kok! Week..!”
Iya gw tau, gw salah satunya.
“Gw butuh bantuan lo niy.”
“Apa? Kalo gw di suruh nyukurin bulu kaki lo gw ogah ya”
“Ih..siapa juga yang minta itu. Temenin gw ke toko baju yuk.”
“Hah? Ngapain sama gw? Minta temenin cowok lo sana.”
“Dia ngeband. Please ya Ji..please..”
Ini nih senjata rahasia Kayla Rezelina untuk menaklukan hati Arbenji Nugraha. Udah sering banget aku luluh.
“Iya deh, kemana?”
“Ke De javu, oke?”
“Seph.”
Sepanjang perjalanan kami bercerita panjang lebar seperti biasa, namun tak pernah sekalipun aku menyinggung soal tangisannya. Sesampainya disana Kayla langsung menuju ke bagian kemeja laki-laki.
“Kok kesini Kay?”
“Iya, gw mau beliin kemeja buat Io, bentar lagi dia ultah.”
Harga diriku sebagai seorang laki-laki benar-benar terinjak-ijak. Bagaimana mungkin aku memenemani orang yang kucintai membelikan kado ulang tahun untuk pacarnya??!!
“Oh..”
“Ini bagus ga?”
“Bagus.”
“Kalau yang ini?” tanyanya sambil mengengkat kemeja lainnya.
“Bagusan yang tadi, yang ini kayaknya kekecilan deh buat Ryo.”
Apa yang kulakukan?? Allah..berikan hambamu ini kekuatan..
“Iya-ya, Io kan tinggi, ini cocoknya buat lo, lo khan kecil. Hehehe.”
“Ngaca dulu ya mbak! Lebih kecil siapa lo ama gw?”
“Iya-iya, ya udah gw beli yang ini, lo tunggu di motor aja.”
“Cepetan ya.”
Tidak lama kemuadian Kayla datang dan kamipun pulang. Aku terdiam sepanjang perjalanan ke rumahnya. Aku terlalu kesal dengan diriku sendiri. Ku lihat Kayla dari kaca spion, dia sepertinya bingung akan sikapku.
“Ryo ultahnya kapan?”
“Besok. Makanya gw buru-buru banget.”
“Besok tanggal berapa sih?”
“Tanggal 26 November.”
Apa? 26 november? Itu khan ulang tahun gw juga. Shit! Sial banget sih gw! Arrgghh…!!!! Siiiiaaaallll!
“Lo kenapa Ji?”
“Enggak papa!”
“Nyantai aja sih, ya udah berenti aja, gw turun disini.”
“Ngapain turun disini.”
“Ini udah di depan rumah gw odong!”
“Oh iya, gw nggak sadar.”
“Thanks ya Ji, lo emang bestfriend gw banget deh! Dag.”
Aku melihat Kayla masuk ke dalam rumahnya. Kata-kata yang begitu menusuk. Sahabat…
***
Aku terbangun jam 11 siang. Hari sabtu. Tanggal 26 November. Hari ulang tahunku yang kelabu. Tidak biasanya sehabis sholat subuh aku tidur lagi. Mungkin karena hatiku terlalu lelah akhir-akhir ini.
Aku lihat ponselku. Banyak sms selamat ulang tahun namun tidak ada nama ‘Kayy ciLL’ disana. Aku berteriak. Bodoh!
“Napa si lo teriak-teriak nggak jelas gitu?” tanya Aryan yang tiba-tiba masuk ke kamarku.
“Biasa. Stress. Ngapain lo kesini?”
“Ini ulang taun lo man! Masa gw nggak datang ke rumah lo, mana pestanya?”
“Pesta gigi lo. Gw lagi berduka.”
Aku ceritakan apa yang terjadi dan Aryan tertawa terbahak-bahak.
“Bloon sih lo,konyol lo tau ga!”
“Bodo amat, gw ini yang bloon.”
“Sori-sori Ji, ya udah, sekarang kita jalan aja, gimana?”
“Ayo deh, sumpek gw hari ini.”
“Ya udah kita ke café gw aja, banyak cewek calep hari ini.”
“Oke, tapi lo yang traktir ya.”
“Lah, yang ultah khan elo.”
“Tapi yang punya café khan elo, udahlah itung-itung kado buat gw dan lo ngehibur gw.”
“Ya udahlah.”
Seharian aku bersenang-senang dengan teman-teman wanita Aryan, dasar cowok Playboy! Gw aja satu nggak dapet-dapet, dia malah banyak banget. Aku sampai rumah jam 11 malam. Aku lihat di depan pager rumahku ada seorang perempuan, Kayla!
“Ngapain lo malem-malem gini di depan rumah gw?”
“Darimana aja sih lo? Gw tunggu lo dari jam 9 tau nggak! Nih!” Kayla menyerahkan bungkusan kado.
“Apaan ni?”
“Kado buat lo, happy birthday!” katanya ketus.
Aku terkejut.
“Sori-sori, gw pikir lo lupa ulang taun gw.”
“Mana mungkin gw lupa ulang tahun sahabat gw sendiri, sori ya, gw nggak ada pulsa, jadi ga sms lo.”
“Enggak papa.”
Aku buka kado dari Kayla, ternyata kemeja yang aku lihat waktu itu. Ternyata waktu itu dia juga beli kado buat gw? Aku tersenyum.
“Kenapa senyum-senyum?”
“Nggak apa-apa. Mana Ryo?”
“Lagi ngisi bensin, gara-gara nungguin lo ni, untung cowok gw baik. Coba cowok lain, mana ada seorang pacar yang rela nungguin ceweknya nungguin sabahatnya sampe dua jam, cowok lagi!”
“Kalo dia baik, kenapa lo sering nangisin dia?”
Ups! Gw kelepasan. Mati gw. Raut Wajahnya berubah.
“Walaupun dia sering bikin gw nangis tapi gw sayang sama dia, toh bukan mau dia kok nyakitin gw, smua karena salah paham aja.”
“Sebegitu seringnya lo salah paham? Kenapa sih lo masih aja tahan sama dia, masih ada cowok lain yang bisa ngebahagiain lo Kay!”
“Denger ya Benji, walau dia bikin aku nangis, tapi dia gampang banget bikin aku ketawa dan tersenyum lagi. Nggak ada orang lain yang bisa bikin lebih bahagia selain Io. Love is when you give someone the power to break your heart but trust them not to, get it?”
“Iya-iya. Tuh cowo lo datang.”
Cih. Dia bawa mobil lagi.
“Ya udah, gw balik ya, bye.
“Tunggu Kay, sampai kapan lo akan bertahan?”
“Sampai hati gw udah nggak sanggup lagi lah Ji. Habis itu, tolong bilangin ke orang yang bisa ngebahagiain gw itu buat ngilangin rasa sedih gw. Bye.” kata Kayla sambil masuk ke dalam mobil. Ryopun pamit dan mereka menghilang.
Aku seperti punya semangat baru, mungkin ini bukan ultah yang terlalu kelabu. Liat aja Ryo, saat lo ngelepasin Manda, dia akan gw ambil dan nggak akan gw lepas, ga akan pernah! Karena cuma gw yang bisa ngebahagiain dia selain lo, cuma gw!
“Happy birthday to you, u were born in the zoo…” nyanyiku
Mengapa aku tidak menghampirinya? Yah, karena aku tak bisa. Jika aku bisa, tentu aku akan segera naik ke lantai dua, langsung memeluknya dan menghapus tangisnya.
“Ben, ngapain lo ngelamun disini?” Aryan yang langsung duduk di sebelahku, sepertinya dia habis sholat, “Udah sholat?”
“Udah. Gw bukan ngelamun, tapi gw lagi ngeliatin bidadari gw!”
“Bidadari?” tanya Aryan yang sedang memakai kaus kaki.
“Iya, itu tuh, si Kayla.”
“Ya ampun Ben, masiiih aja lo ngeliatin cewek yang udah punya cowok. Sebagai sahabat lo gw ngerasa kasian.”
Aku terdiam. Tau khan kenapa aku tak bisa menghampirinya. Ya, Kayla udah pacar dan aku yakin sekali, kali ini pun pasti si brengsek Ryo yang membuatnya menangis.
“Samperin gih.” kata Aryan
“Buat apa?”
“Ya kalo elo diem aja, mana dia tau lo naksir dia sejak kelas 6 sd! Udahlah samperin aja.”
“Iye gw samperin dia dan gw akan terlihat amat tolol pas gw nyamperin dia trus Ryo datang dan menghancurkan semuanya.
Aryan tertawa. “Iya-ya. Lo khan kalah banget sama Ryo. Dia tinggi, lo..”
“Setidaknya gw lebih putih.”
“Dia pinter, lo..”
“Gw lebih jago basket dari dia.”
“Dia ganteng, lo..”
“Jangan salah, gw lebih kiyut gitu loh..” sahutku sambil bergaya banci
“Najis lo ah. Ini nih yang paling lo kalah dari dia.”
“Paan?”
“Kayla sayang banget ma dia dan Kayla juga ceweknya.”
“Udah ah, makin patah semangat gw. Balik yu.”
“Ngapain lo ngajak balik gw?”
“Biasa..”
“Biasa paan?”
“Nebeng-nebeng” kataku sambil tersenyum
“Sialan lo.”
***
“Benji!” panggil seseorang.
Hatiku berdegup amat kencang dan aku berbalik.
“Benji tunggu!” teriak Kayla sambil berlari-lari kecil.
Dia sampai di hadapanku dengan sedikit terengah, wajahnya memerah dan penuh keringat.
“Darimana lo? Kok kacau banget gini? Abis nguli dimana?”
“Sialan lo. Gw abis dari lantai 3, lo gw panggil-panggil juga dari tadi kaga berenti-berenti.”
“Sori, bisa suara lo kecil sih, sama kaya orangnya, jadinya gw ga denger dan ga liat lo deh.”
“Benji rese!” katanya sambil mengacak-acak rambutku sambil berjinjit-jinjit.
“Anak kecil nggak usah sok tinggi.”
“Biar kecil banyak yang suka kok! Week..!”
Iya gw tau, gw salah satunya.
“Gw butuh bantuan lo niy.”
“Apa? Kalo gw di suruh nyukurin bulu kaki lo gw ogah ya”
“Ih..siapa juga yang minta itu. Temenin gw ke toko baju yuk.”
“Hah? Ngapain sama gw? Minta temenin cowok lo sana.”
“Dia ngeband. Please ya Ji..please..”
Ini nih senjata rahasia Kayla Rezelina untuk menaklukan hati Arbenji Nugraha. Udah sering banget aku luluh.
“Iya deh, kemana?”
“Ke De javu, oke?”
“Seph.”
Sepanjang perjalanan kami bercerita panjang lebar seperti biasa, namun tak pernah sekalipun aku menyinggung soal tangisannya. Sesampainya disana Kayla langsung menuju ke bagian kemeja laki-laki.
“Kok kesini Kay?”
“Iya, gw mau beliin kemeja buat Io, bentar lagi dia ultah.”
Harga diriku sebagai seorang laki-laki benar-benar terinjak-ijak. Bagaimana mungkin aku memenemani orang yang kucintai membelikan kado ulang tahun untuk pacarnya??!!
“Oh..”
“Ini bagus ga?”
“Bagus.”
“Kalau yang ini?” tanyanya sambil mengengkat kemeja lainnya.
“Bagusan yang tadi, yang ini kayaknya kekecilan deh buat Ryo.”
Apa yang kulakukan?? Allah..berikan hambamu ini kekuatan..
“Iya-ya, Io kan tinggi, ini cocoknya buat lo, lo khan kecil. Hehehe.”
“Ngaca dulu ya mbak! Lebih kecil siapa lo ama gw?”
“Iya-iya, ya udah gw beli yang ini, lo tunggu di motor aja.”
“Cepetan ya.”
Tidak lama kemuadian Kayla datang dan kamipun pulang. Aku terdiam sepanjang perjalanan ke rumahnya. Aku terlalu kesal dengan diriku sendiri. Ku lihat Kayla dari kaca spion, dia sepertinya bingung akan sikapku.
“Ryo ultahnya kapan?”
“Besok. Makanya gw buru-buru banget.”
“Besok tanggal berapa sih?”
“Tanggal 26 November.”
Apa? 26 november? Itu khan ulang tahun gw juga. Shit! Sial banget sih gw! Arrgghh…!!!! Siiiiaaaallll!
“Lo kenapa Ji?”
“Enggak papa!”
“Nyantai aja sih, ya udah berenti aja, gw turun disini.”
“Ngapain turun disini.”
“Ini udah di depan rumah gw odong!”
“Oh iya, gw nggak sadar.”
“Thanks ya Ji, lo emang bestfriend gw banget deh! Dag.”
Aku melihat Kayla masuk ke dalam rumahnya. Kata-kata yang begitu menusuk. Sahabat…
***
Aku terbangun jam 11 siang. Hari sabtu. Tanggal 26 November. Hari ulang tahunku yang kelabu. Tidak biasanya sehabis sholat subuh aku tidur lagi. Mungkin karena hatiku terlalu lelah akhir-akhir ini.
Aku lihat ponselku. Banyak sms selamat ulang tahun namun tidak ada nama ‘Kayy ciLL’ disana. Aku berteriak. Bodoh!
“Napa si lo teriak-teriak nggak jelas gitu?” tanya Aryan yang tiba-tiba masuk ke kamarku.
“Biasa. Stress. Ngapain lo kesini?”
“Ini ulang taun lo man! Masa gw nggak datang ke rumah lo, mana pestanya?”
“Pesta gigi lo. Gw lagi berduka.”
Aku ceritakan apa yang terjadi dan Aryan tertawa terbahak-bahak.
“Bloon sih lo,konyol lo tau ga!”
“Bodo amat, gw ini yang bloon.”
“Sori-sori Ji, ya udah, sekarang kita jalan aja, gimana?”
“Ayo deh, sumpek gw hari ini.”
“Ya udah kita ke café gw aja, banyak cewek calep hari ini.”
“Oke, tapi lo yang traktir ya.”
“Lah, yang ultah khan elo.”
“Tapi yang punya café khan elo, udahlah itung-itung kado buat gw dan lo ngehibur gw.”
“Ya udahlah.”
Seharian aku bersenang-senang dengan teman-teman wanita Aryan, dasar cowok Playboy! Gw aja satu nggak dapet-dapet, dia malah banyak banget. Aku sampai rumah jam 11 malam. Aku lihat di depan pager rumahku ada seorang perempuan, Kayla!
“Ngapain lo malem-malem gini di depan rumah gw?”
“Darimana aja sih lo? Gw tunggu lo dari jam 9 tau nggak! Nih!” Kayla menyerahkan bungkusan kado.
“Apaan ni?”
“Kado buat lo, happy birthday!” katanya ketus.
Aku terkejut.
“Sori-sori, gw pikir lo lupa ulang taun gw.”
“Mana mungkin gw lupa ulang tahun sahabat gw sendiri, sori ya, gw nggak ada pulsa, jadi ga sms lo.”
“Enggak papa.”
Aku buka kado dari Kayla, ternyata kemeja yang aku lihat waktu itu. Ternyata waktu itu dia juga beli kado buat gw? Aku tersenyum.
“Kenapa senyum-senyum?”
“Nggak apa-apa. Mana Ryo?”
“Lagi ngisi bensin, gara-gara nungguin lo ni, untung cowok gw baik. Coba cowok lain, mana ada seorang pacar yang rela nungguin ceweknya nungguin sabahatnya sampe dua jam, cowok lagi!”
“Kalo dia baik, kenapa lo sering nangisin dia?”
Ups! Gw kelepasan. Mati gw. Raut Wajahnya berubah.
“Walaupun dia sering bikin gw nangis tapi gw sayang sama dia, toh bukan mau dia kok nyakitin gw, smua karena salah paham aja.”
“Sebegitu seringnya lo salah paham? Kenapa sih lo masih aja tahan sama dia, masih ada cowok lain yang bisa ngebahagiain lo Kay!”
“Denger ya Benji, walau dia bikin aku nangis, tapi dia gampang banget bikin aku ketawa dan tersenyum lagi. Nggak ada orang lain yang bisa bikin lebih bahagia selain Io. Love is when you give someone the power to break your heart but trust them not to, get it?”
“Iya-iya. Tuh cowo lo datang.”
Cih. Dia bawa mobil lagi.
“Ya udah, gw balik ya, bye.
“Tunggu Kay, sampai kapan lo akan bertahan?”
“Sampai hati gw udah nggak sanggup lagi lah Ji. Habis itu, tolong bilangin ke orang yang bisa ngebahagiain gw itu buat ngilangin rasa sedih gw. Bye.” kata Kayla sambil masuk ke dalam mobil. Ryopun pamit dan mereka menghilang.
Aku seperti punya semangat baru, mungkin ini bukan ultah yang terlalu kelabu. Liat aja Ryo, saat lo ngelepasin Manda, dia akan gw ambil dan nggak akan gw lepas, ga akan pernah! Karena cuma gw yang bisa ngebahagiain dia selain lo, cuma gw!
“Happy birthday to you, u were born in the zoo…” nyanyiku
cerpen : harta,cinta, dan kesepian
Aku membuka mataku, sudah pagi rupanya. Cahaya matahari yang masuk lewat celah-celah jendela kamarku. Aku bangkit dan langsung mengambil ponsel, banyak missed called dan sms dari cewek-cewek yang hanya menginginkan harta ayahku.
Aku keluar kamar dan menuruni tangga menuju meja makan. Aku duduk sendirian di ruang makan yang cukup menampung 20 orang ini. Buat apa sih ayahku membuat rumah yang begitu besar jika hanya tiga orang yang tinggal di rumah ini? Hanya aku, Sherry dan mbok Sum.
Tak lama Sherry turun dari tangga dan memelukku dari belakang lalu mencium pipiku, “Pagi Kak.”
“Pagi. Mau makan apa?”
“Terserah aja. Mama-papa belum pulang ya?”
“Belum, katanya mereka masih di Singapore, ada bisnis papa yang belum selesai.”
“Oh..”
Dasar orang tua enggak tahu diri! Tega banget ninggalin anak-anaknya yang masih smp dan sma hanya untuk mencari uang. Aku sedih melihat Sherry yang selalu sendiri jika aku ada eksul di sekolah dan mbok Sum sedang ada kerjaan.
“Nih Kak Aryan.” kata Sherry memberikan roti selai coklat padaku.
“Thanks, oh ya, ada telpon buat kakak ga? Kemarin kakak ngerayain ultahnya Benji, trus lupa bawa hp”
“Ada, kalo nggak salah dari Reni, Mita, Sarah, Nita, Yanti, Lia, sama satu lagi siapa gitu, aku lupa abis enggak jelas sih suaranya.”
“Itu aja?”
“Kayanya sih, kapan si Ka Aryan mau serius sama satu cewek? Jangan jadi playboy terus ah Kak.”
“Iyaa anak kecil, kakak akan berenti kok kalo udah nemuin yang the one, janji deh.” kataku sambil mengunyah sisa terakhir dari rotiku
“Iya-iya terserah deh.”’
Aku beranjak dari kursi dan mengacak-acak rambut Sherry, “Kakak mau langsung mandi terus ke café, kamu mau ikut?”
“Enggak, aku mau nonton Ka Benji main basket.”
“Benji? Jangan bilang…”
“Apaan sih kak, udah ah, mandi sana, dasar nyebelin.
Aku tertawa sambil menaiki tangga, ternyata Sherry suka sama Benji, nggak nyangka juga, entar aku jodohin ah.
***
“Mas Aryan mau jadi pelayan? Mana mungkin bisa mas, anda itu yang punya café ini.” Kata Pak Rusli cemas
“Udah biarin aja, aku lagi enggak ada kerjaan, lagian ini khan hari minggu, ya enggak?” kataku sambil memakai baju pelayan.
“Saya harus bilang apa sama Tuan?”
“Ya..enggak usah bilang sama papa” kataku sambil berjalan keluar ruang staff dan mengambil menu. Aku menuju meja yang berada di pojokan paling dekat matahari. Aku sudah perhatikan perempuan itu, hanya memesan iced lemon tea dan cherry pie. Dia selalu sendiri dan hanya di temani laptop.
“Mau pesan apa?” tanyaku padanya dengan senyuman andalanku, jarang ada perempuan yang selamat dari senyumku ini.
“Iced lemon tea dan cherry pie” jawabnya ketus tanpa senyum di bibir indahnya.
“Ada lagi?”
“Tidak terima kasih.”
Kuat juga pertahanan perempuan ini, dia hanya melihatku tanpa ekspresi. Bahkan ia hanya melihatku sekilas. Lihat saja, aku pasti bisa mendapatkannya.
Aku membawa pesanannya dan menaruhnya di meja. Aku tersenyum sekali lagi. Tapi dia sama sekali tidak melihatku dan sibuk terhadap laptopnya.
“Lagi ngapain mbak?”
“Bukan urusanmu, tolong jangan ganggu saya.”
“Tapi saya ingin berkenalan dengan anda. Boleh?”
“Boleh asal kamu membelikan saya sepuluh cheery pie, sepuluh black forest, dan sepuluh cheese cake”
Yah, cewek ini matre juga, jadi males deketinnya, tapi yah, untung kamu cantik. Pengen juga nyenengin kamu.
“Baik, tapi kamu pulang bareng aku ya.”
“Boleh, di bungkus ya.”
“Niat pulang jam berapa?”
“Kok nanya aku? Bukannya kamu baru boleh pulang jam 5 sore?”
Oh iya, gw lupa gw pelayan sekarang. Aku tersenyum. “Ya sudah. Jam 5 kalau begitu.”
Akhirnya jam 5 datang juga, aku sudah memakai baju andalanku, kemeja dan celana hitam. Bukannya gr, tapi setiap perempuan yang melihatku begini pasti luluh deh. Aku mengahampirinya yang sudah siap-siap pulang.
“Ayo pulang” kataku.
“Dia melihatku dari atas ke bawah lalu naik lagi keatas. Lalu dia tersenyum. Nah khan! Aku tahu dia bakal lalu.
“Ngapain kamu pake baju item-item begitu? Mau ngelayat mas? Lagian lama banget ganti baju doang, buang-buang waktu aku aja, bawain tuh bungkusan makanan yang kamu beliin tadi.”
Aku terdiam. Baru kali ini kau bertemu perempuan aneh seperti dia. Bukannya di puji malah di ledek lagi, disuruh bawa-bawa pula. Dasar cewek aneh.
“Tempat tinggalku dekat, kita jalan kaki saja, Cuma 10 menit dari café ini.”
Gw disuruh jalan kaki sambail bawa bungkusan sebanyak ini?
“Kita naik taksi aja ya, kasian kamu capek kalo jalan.” Kataku
“Buang-buang duit tahu, udah kita jalan aja, kenapa? Nggak kuat bawa bungkusan itu?”
“Kuatlah, masa enggak kuat sih, ini sih ringan” kataku. Mati aku, tanganku udah mati rasa nih
“Oh masih kuat. Ya udah nih, tolong bawain ya” katanya sambil mengalungkan tas laptopnya padaku. Mati aku!
Sepanjang perjalan dia lebih banyak berbicara dari yang kusangaka. Lebih tepatnya dia meledek ku.
“Oh ya, nama kamu siapa?” tanyaku
“Dinda.”
“Nama panjangnya?”
“Ardindra, emang kenapa?”
“Ga papa”
Ardindra? Kayanya ga asing deh nama itu dan ketawa cewek ini juga familiar banget.
“Nah sudah sampai”
Kami berhenti di depan sebuah rumah panti asuhan dimana banyak anak-anak kecil yang sudah menunggu kami.
“Ka Dinda!!” seru mereka sambil berlarian kearah dinda dan memeluknya.
“Sudah-sudah, nih kakak bawa kue buat kalian, ayo ambil satu-satu.”
Aku memberikan mereka kue satu per satu. Ternyata dia tinggal di panti asuhan dan kue-kue ini untuk adiknya. Baik juga perempuan ini.
“Ayo berterima kasih dulu sama ka Aryan yang udah beliin buat kalian.”
“Makasih ya ka Aryan” kata mereka bersamaan lalu langsung masuk ke dalam panti.
“Iya sama-sama”
Emangnya aku udah sebutin nama aku ke dia ya? Ah sudahlah. Mungkin sudah.
“Terima kasih ya Aryan, aku masuk dulu.”
“Tunggu, besok kamu ke café?”
“Mungkin.” Jawabnya sambil tersenyum.
Aduh, senyumnya manis banget. Udah cantik, seru, nggak matre lagi. Dinda..liat aja, kamu pasti jadi miliku!
***
Sudah hampir 4 bulan ini aku berpura-pura jadi pelayan dia caféku sendiri. Seperti orang bodoh memang, tapi apa boleh buat. Sudah dua sebulan ini aku pacaran dengan Dinda. Belum pernah aku selama ini dengan satu perempuan. Dua hari juga sudah bagus. Sejak hari itu, setiap pulang sekolah aku langsung menuju café. Benji sampai marah-marah karena nggak bisa nebeng pulang.
“Ini pesanannya” kataku sambil memberikan raspberry pie.
“Aku enggak mesan.”
“Aku traktir.”
“Kamu pelayan yang banyak uangnya juga ya. Kamu kerja buat apa?”
“Buat iseng, maksudku buat nyari uanglah, kalau kamu?”
“Sama. Buat anak-anak panti. Kalau dalam waktu dekat aku enggak bisa ngasih biaya yang yang di perlukan, panti itu akan di gusur. Dasar orang kaya enggak tau diri! Enggak tau apa susah nyari uang? Makanya aku paling males kenal sama orang kaya, Cuma bisa seenaknya!”
Aku terdiam. Bagaimana ini? Kalau dia tahu aku anak orang kaya bagaimana?
“Din, sebenernya aku—“
Kata-kataku terpotong panggilan di ponselku. Dari papa.
“Halo? Ya, apa? Papa udah di Jakarta? Aku ada di café, iya aku segera pulang, hah ada pesta? Ya sudah. Dah.” Kataku dalam bahasa perancis karena ayahku memakai bahasa itu duluan. Aku lupa di depanku ada dinda.
“Bahasa perancis?” tanya dinda
“E..itu aku kursus bahasa perancis.”
Tiba-tiba pak Rusli datang,” Tuan muda! Mengapa anda masih disini? ayah anda sudah menunggu di rumah, pestanya sudah mau di mulai, haduh, saya bisa di pecat ini, bagaimana kalau ayah anda tau anda jadi pelayan disini?”
“Tuan muda? Pesta? Pecat? Apa maksudnya?” tanya Dinda
“A-aku bisa jelasin Dinda.”
“Kamu anak orang kaya?”
“I-itu..”
Dinda langsung beranjak dari kursi dan membereskan laptopnya. Aku menahanya.
“Dinda, aku enggak maksud bohong, sumpah!”
“Trus apa?”
“Lagipula kamu enggak pernah nanya khan?”
“Oh, jadi ini semua salah aku? Yang aku tahu, kamu itu Aryan seorang pelayan di café ini, bukan Aryan yang seorang tuan muda!”
“Bukannya bagus aku orang kaya? Aku bisa ban—“
Dinda menamparku, “Maaf, aku bukan perempuan yang melihat laki-laki hanya dari hartanya, tapi dari hati dan kejujurannya.”
Dinda pergi meninggal café dan sejak itu dia tidak pernah kembali lagi. Dua minggu sudah berlalu. Aku sudah mencarinya ke panti tapi katanya Dinda tidak tinggal disana. Hingga suatu sore aku bertemunya di taman kota sedang memotret anak-anak yang sedang bermain.
Saat melihatku ia berhenti memotret. Aku menghampirinya.
“Hai.”
“Kamu siapa?” tanya Dinda padaku. “Siapa kamu sebenarnya?”
Aku menari nafas panjang. “Aku Arya Nurangga Hardiono. Ahli waris dari Hadiono Group. Aku anak orang kaya dan pernah tinggal di paris selama 5 tahun.”
“Rasa sayang ke aku itu juga bohong?”
“Tidak!”
Dinda memelukku erat, “Akhirnya kamu ngaku juga. Dasar cowok bodoh!”
“Maksudnya?”
“Aku tunggu di rumahku ya nanti malam, jangan nggak datang.”
“Tapi aku enggak tahu rumah kamu. Aku cuma tahu panti.”
“Tenang saja, papa kamu tahu kok.”
Lalu dinda pergi dan meninggalkan aku dalam kebingungan. Aku pulang dan orang rumah sudah sibuk.
“Aryan! Kok kamu masih lecek gitu sih? Ayo cepat mandi dan siap-siap, kita harus pergi ke rumah pak Fajrian.” Kata papa
Aku menurut dan langsung memakai baju yang sudah disiapkan untukku. Setelah satu keluarga siap, kami langusung berangkat dan sampai di rumah yang besarnya hampir sama dengan rumahku.
“Om Fajrian ini siapa pa?”
“Dia partner papa 5 tahun terakhir.”
Kasian anaknya, pasti kesepian kaya aku dan Sherry. Kami turun dan acara sudah dimulai.
“Kita semua hadir disini untuk merayakan kembalinya anak tunggal dari Bapak Fajrian Rotenvelt dari London, kita sambut Ardindra Cleo Rotenvelt!” seru MC.
Aku kaget melihat Dinda yang menuruni tangga dengan pakaian bak putri raja, ia terlihat cantik, amat cantik malah. Ternyata dia anak orang kaya juga. Rese juga nih cewek.
Menjelang malam Dinda baru menghampiriku.
“Selamat malam tuan muda Hardiono group.”
“Selamat malam juga nona muda Rotenvelt corporation.”
“Kamu marah ya?”
“Enggak.”
“Bohong.”
“Iya, aku bohong. Kenapa kamu marah ke aku padahal kamu melakukan hal yang sama?”
“Hanya ingin memberimu pelajaran.”
“Buat apa?”
“Habis kamu lupa sama aku sih, trus kamu jadi playboy dan lupa janji kita, khan aku jadi bt!”
“Janji apa? Bukannya kita pertama kali bertemu di café?”
“Tidak dasar bodoh! Kita pertama kali bertemu di London, waktu kita umur 6 tahun, dan kamu berjanji akan menemuiku di taman kota saat kita berumur 17 tahun dan kamu tidak datang! Padahal aku menunggu dari pagi!”
Pantas perempuan ini sangat tidak asing. Ternyata dia temanku waktu kecil dasar bodoh.
“Hari-hari berikutnya juga aku tunggu, tapi kamu tetap tidak datang. Padahal aku sudah telpon kamu sehari sebelum aku kembali ke Indonesia.”
Ternyata yang menelpon itu dia, yang kata Sherry tidak jelas suaranya. Aku tertawa aku jadi merasa bodoh.
“Jadi dari awal kamu tahu aku anak orang kaya?”
“Tentu saja, makanya aku mengerjaimu.”
“Dasar anak nakal!” kataku. Lalu aku memeluknya di tengah orang banyak. “Jangan pernah lari lagi dariku. Jangan pernah.”
“Iya aku janji. Selama kamu enggak lupain aku lagi.”
“Iya aku janji.”
Lalu dentingan musikpun di mulai dan aku mengajak Dinda untuk berdansa. Sekarang aku mengerti arti kesetiaan dan kejujuran. Hal yang tidak bisa di beli dengan uang sebanyak apapun.
“Eh, kenapa waktu itu kamu selalu bilang tinggal di panti? Jahat sekali kamu menganggap orang tuamu sudah tidak ada.”
“Kamu kaya enggak tau aja penyakit anak-anak orang kaya. Kesepian. Kalau di panti aku selalu merasa ramai dan senang.”
“Oh begitu..” kataku mengerti
Aku keluar kamar dan menuruni tangga menuju meja makan. Aku duduk sendirian di ruang makan yang cukup menampung 20 orang ini. Buat apa sih ayahku membuat rumah yang begitu besar jika hanya tiga orang yang tinggal di rumah ini? Hanya aku, Sherry dan mbok Sum.
Tak lama Sherry turun dari tangga dan memelukku dari belakang lalu mencium pipiku, “Pagi Kak.”
“Pagi. Mau makan apa?”
“Terserah aja. Mama-papa belum pulang ya?”
“Belum, katanya mereka masih di Singapore, ada bisnis papa yang belum selesai.”
“Oh..”
Dasar orang tua enggak tahu diri! Tega banget ninggalin anak-anaknya yang masih smp dan sma hanya untuk mencari uang. Aku sedih melihat Sherry yang selalu sendiri jika aku ada eksul di sekolah dan mbok Sum sedang ada kerjaan.
“Nih Kak Aryan.” kata Sherry memberikan roti selai coklat padaku.
“Thanks, oh ya, ada telpon buat kakak ga? Kemarin kakak ngerayain ultahnya Benji, trus lupa bawa hp”
“Ada, kalo nggak salah dari Reni, Mita, Sarah, Nita, Yanti, Lia, sama satu lagi siapa gitu, aku lupa abis enggak jelas sih suaranya.”
“Itu aja?”
“Kayanya sih, kapan si Ka Aryan mau serius sama satu cewek? Jangan jadi playboy terus ah Kak.”
“Iyaa anak kecil, kakak akan berenti kok kalo udah nemuin yang the one, janji deh.” kataku sambil mengunyah sisa terakhir dari rotiku
“Iya-iya terserah deh.”’
Aku beranjak dari kursi dan mengacak-acak rambut Sherry, “Kakak mau langsung mandi terus ke café, kamu mau ikut?”
“Enggak, aku mau nonton Ka Benji main basket.”
“Benji? Jangan bilang…”
“Apaan sih kak, udah ah, mandi sana, dasar nyebelin.
Aku tertawa sambil menaiki tangga, ternyata Sherry suka sama Benji, nggak nyangka juga, entar aku jodohin ah.
***
“Mas Aryan mau jadi pelayan? Mana mungkin bisa mas, anda itu yang punya café ini.” Kata Pak Rusli cemas
“Udah biarin aja, aku lagi enggak ada kerjaan, lagian ini khan hari minggu, ya enggak?” kataku sambil memakai baju pelayan.
“Saya harus bilang apa sama Tuan?”
“Ya..enggak usah bilang sama papa” kataku sambil berjalan keluar ruang staff dan mengambil menu. Aku menuju meja yang berada di pojokan paling dekat matahari. Aku sudah perhatikan perempuan itu, hanya memesan iced lemon tea dan cherry pie. Dia selalu sendiri dan hanya di temani laptop.
“Mau pesan apa?” tanyaku padanya dengan senyuman andalanku, jarang ada perempuan yang selamat dari senyumku ini.
“Iced lemon tea dan cherry pie” jawabnya ketus tanpa senyum di bibir indahnya.
“Ada lagi?”
“Tidak terima kasih.”
Kuat juga pertahanan perempuan ini, dia hanya melihatku tanpa ekspresi. Bahkan ia hanya melihatku sekilas. Lihat saja, aku pasti bisa mendapatkannya.
Aku membawa pesanannya dan menaruhnya di meja. Aku tersenyum sekali lagi. Tapi dia sama sekali tidak melihatku dan sibuk terhadap laptopnya.
“Lagi ngapain mbak?”
“Bukan urusanmu, tolong jangan ganggu saya.”
“Tapi saya ingin berkenalan dengan anda. Boleh?”
“Boleh asal kamu membelikan saya sepuluh cheery pie, sepuluh black forest, dan sepuluh cheese cake”
Yah, cewek ini matre juga, jadi males deketinnya, tapi yah, untung kamu cantik. Pengen juga nyenengin kamu.
“Baik, tapi kamu pulang bareng aku ya.”
“Boleh, di bungkus ya.”
“Niat pulang jam berapa?”
“Kok nanya aku? Bukannya kamu baru boleh pulang jam 5 sore?”
Oh iya, gw lupa gw pelayan sekarang. Aku tersenyum. “Ya sudah. Jam 5 kalau begitu.”
Akhirnya jam 5 datang juga, aku sudah memakai baju andalanku, kemeja dan celana hitam. Bukannya gr, tapi setiap perempuan yang melihatku begini pasti luluh deh. Aku mengahampirinya yang sudah siap-siap pulang.
“Ayo pulang” kataku.
“Dia melihatku dari atas ke bawah lalu naik lagi keatas. Lalu dia tersenyum. Nah khan! Aku tahu dia bakal lalu.
“Ngapain kamu pake baju item-item begitu? Mau ngelayat mas? Lagian lama banget ganti baju doang, buang-buang waktu aku aja, bawain tuh bungkusan makanan yang kamu beliin tadi.”
Aku terdiam. Baru kali ini kau bertemu perempuan aneh seperti dia. Bukannya di puji malah di ledek lagi, disuruh bawa-bawa pula. Dasar cewek aneh.
“Tempat tinggalku dekat, kita jalan kaki saja, Cuma 10 menit dari café ini.”
Gw disuruh jalan kaki sambail bawa bungkusan sebanyak ini?
“Kita naik taksi aja ya, kasian kamu capek kalo jalan.” Kataku
“Buang-buang duit tahu, udah kita jalan aja, kenapa? Nggak kuat bawa bungkusan itu?”
“Kuatlah, masa enggak kuat sih, ini sih ringan” kataku. Mati aku, tanganku udah mati rasa nih
“Oh masih kuat. Ya udah nih, tolong bawain ya” katanya sambil mengalungkan tas laptopnya padaku. Mati aku!
Sepanjang perjalan dia lebih banyak berbicara dari yang kusangaka. Lebih tepatnya dia meledek ku.
“Oh ya, nama kamu siapa?” tanyaku
“Dinda.”
“Nama panjangnya?”
“Ardindra, emang kenapa?”
“Ga papa”
Ardindra? Kayanya ga asing deh nama itu dan ketawa cewek ini juga familiar banget.
“Nah sudah sampai”
Kami berhenti di depan sebuah rumah panti asuhan dimana banyak anak-anak kecil yang sudah menunggu kami.
“Ka Dinda!!” seru mereka sambil berlarian kearah dinda dan memeluknya.
“Sudah-sudah, nih kakak bawa kue buat kalian, ayo ambil satu-satu.”
Aku memberikan mereka kue satu per satu. Ternyata dia tinggal di panti asuhan dan kue-kue ini untuk adiknya. Baik juga perempuan ini.
“Ayo berterima kasih dulu sama ka Aryan yang udah beliin buat kalian.”
“Makasih ya ka Aryan” kata mereka bersamaan lalu langsung masuk ke dalam panti.
“Iya sama-sama”
Emangnya aku udah sebutin nama aku ke dia ya? Ah sudahlah. Mungkin sudah.
“Terima kasih ya Aryan, aku masuk dulu.”
“Tunggu, besok kamu ke café?”
“Mungkin.” Jawabnya sambil tersenyum.
Aduh, senyumnya manis banget. Udah cantik, seru, nggak matre lagi. Dinda..liat aja, kamu pasti jadi miliku!
***
Sudah hampir 4 bulan ini aku berpura-pura jadi pelayan dia caféku sendiri. Seperti orang bodoh memang, tapi apa boleh buat. Sudah dua sebulan ini aku pacaran dengan Dinda. Belum pernah aku selama ini dengan satu perempuan. Dua hari juga sudah bagus. Sejak hari itu, setiap pulang sekolah aku langsung menuju café. Benji sampai marah-marah karena nggak bisa nebeng pulang.
“Ini pesanannya” kataku sambil memberikan raspberry pie.
“Aku enggak mesan.”
“Aku traktir.”
“Kamu pelayan yang banyak uangnya juga ya. Kamu kerja buat apa?”
“Buat iseng, maksudku buat nyari uanglah, kalau kamu?”
“Sama. Buat anak-anak panti. Kalau dalam waktu dekat aku enggak bisa ngasih biaya yang yang di perlukan, panti itu akan di gusur. Dasar orang kaya enggak tau diri! Enggak tau apa susah nyari uang? Makanya aku paling males kenal sama orang kaya, Cuma bisa seenaknya!”
Aku terdiam. Bagaimana ini? Kalau dia tahu aku anak orang kaya bagaimana?
“Din, sebenernya aku—“
Kata-kataku terpotong panggilan di ponselku. Dari papa.
“Halo? Ya, apa? Papa udah di Jakarta? Aku ada di café, iya aku segera pulang, hah ada pesta? Ya sudah. Dah.” Kataku dalam bahasa perancis karena ayahku memakai bahasa itu duluan. Aku lupa di depanku ada dinda.
“Bahasa perancis?” tanya dinda
“E..itu aku kursus bahasa perancis.”
Tiba-tiba pak Rusli datang,” Tuan muda! Mengapa anda masih disini? ayah anda sudah menunggu di rumah, pestanya sudah mau di mulai, haduh, saya bisa di pecat ini, bagaimana kalau ayah anda tau anda jadi pelayan disini?”
“Tuan muda? Pesta? Pecat? Apa maksudnya?” tanya Dinda
“A-aku bisa jelasin Dinda.”
“Kamu anak orang kaya?”
“I-itu..”
Dinda langsung beranjak dari kursi dan membereskan laptopnya. Aku menahanya.
“Dinda, aku enggak maksud bohong, sumpah!”
“Trus apa?”
“Lagipula kamu enggak pernah nanya khan?”
“Oh, jadi ini semua salah aku? Yang aku tahu, kamu itu Aryan seorang pelayan di café ini, bukan Aryan yang seorang tuan muda!”
“Bukannya bagus aku orang kaya? Aku bisa ban—“
Dinda menamparku, “Maaf, aku bukan perempuan yang melihat laki-laki hanya dari hartanya, tapi dari hati dan kejujurannya.”
Dinda pergi meninggal café dan sejak itu dia tidak pernah kembali lagi. Dua minggu sudah berlalu. Aku sudah mencarinya ke panti tapi katanya Dinda tidak tinggal disana. Hingga suatu sore aku bertemunya di taman kota sedang memotret anak-anak yang sedang bermain.
Saat melihatku ia berhenti memotret. Aku menghampirinya.
“Hai.”
“Kamu siapa?” tanya Dinda padaku. “Siapa kamu sebenarnya?”
Aku menari nafas panjang. “Aku Arya Nurangga Hardiono. Ahli waris dari Hadiono Group. Aku anak orang kaya dan pernah tinggal di paris selama 5 tahun.”
“Rasa sayang ke aku itu juga bohong?”
“Tidak!”
Dinda memelukku erat, “Akhirnya kamu ngaku juga. Dasar cowok bodoh!”
“Maksudnya?”
“Aku tunggu di rumahku ya nanti malam, jangan nggak datang.”
“Tapi aku enggak tahu rumah kamu. Aku cuma tahu panti.”
“Tenang saja, papa kamu tahu kok.”
Lalu dinda pergi dan meninggalkan aku dalam kebingungan. Aku pulang dan orang rumah sudah sibuk.
“Aryan! Kok kamu masih lecek gitu sih? Ayo cepat mandi dan siap-siap, kita harus pergi ke rumah pak Fajrian.” Kata papa
Aku menurut dan langsung memakai baju yang sudah disiapkan untukku. Setelah satu keluarga siap, kami langusung berangkat dan sampai di rumah yang besarnya hampir sama dengan rumahku.
“Om Fajrian ini siapa pa?”
“Dia partner papa 5 tahun terakhir.”
Kasian anaknya, pasti kesepian kaya aku dan Sherry. Kami turun dan acara sudah dimulai.
“Kita semua hadir disini untuk merayakan kembalinya anak tunggal dari Bapak Fajrian Rotenvelt dari London, kita sambut Ardindra Cleo Rotenvelt!” seru MC.
Aku kaget melihat Dinda yang menuruni tangga dengan pakaian bak putri raja, ia terlihat cantik, amat cantik malah. Ternyata dia anak orang kaya juga. Rese juga nih cewek.
Menjelang malam Dinda baru menghampiriku.
“Selamat malam tuan muda Hardiono group.”
“Selamat malam juga nona muda Rotenvelt corporation.”
“Kamu marah ya?”
“Enggak.”
“Bohong.”
“Iya, aku bohong. Kenapa kamu marah ke aku padahal kamu melakukan hal yang sama?”
“Hanya ingin memberimu pelajaran.”
“Buat apa?”
“Habis kamu lupa sama aku sih, trus kamu jadi playboy dan lupa janji kita, khan aku jadi bt!”
“Janji apa? Bukannya kita pertama kali bertemu di café?”
“Tidak dasar bodoh! Kita pertama kali bertemu di London, waktu kita umur 6 tahun, dan kamu berjanji akan menemuiku di taman kota saat kita berumur 17 tahun dan kamu tidak datang! Padahal aku menunggu dari pagi!”
Pantas perempuan ini sangat tidak asing. Ternyata dia temanku waktu kecil dasar bodoh.
“Hari-hari berikutnya juga aku tunggu, tapi kamu tetap tidak datang. Padahal aku sudah telpon kamu sehari sebelum aku kembali ke Indonesia.”
Ternyata yang menelpon itu dia, yang kata Sherry tidak jelas suaranya. Aku tertawa aku jadi merasa bodoh.
“Jadi dari awal kamu tahu aku anak orang kaya?”
“Tentu saja, makanya aku mengerjaimu.”
“Dasar anak nakal!” kataku. Lalu aku memeluknya di tengah orang banyak. “Jangan pernah lari lagi dariku. Jangan pernah.”
“Iya aku janji. Selama kamu enggak lupain aku lagi.”
“Iya aku janji.”
Lalu dentingan musikpun di mulai dan aku mengajak Dinda untuk berdansa. Sekarang aku mengerti arti kesetiaan dan kejujuran. Hal yang tidak bisa di beli dengan uang sebanyak apapun.
“Eh, kenapa waktu itu kamu selalu bilang tinggal di panti? Jahat sekali kamu menganggap orang tuamu sudah tidak ada.”
“Kamu kaya enggak tau aja penyakit anak-anak orang kaya. Kesepian. Kalau di panti aku selalu merasa ramai dan senang.”
“Oh begitu..” kataku mengerti
cerpen : Aku sayaang..
“Ya sudah, kita putus saja!” kata-kataku itu meluncur begitu saja dari mulutku tanpa bisa ku cegah. Gadis manis yang berada di hadapanku ini terdiam terpaku. Dia hanya diam. Tidak berkata apa-apa. Aku berharap ia menolak keputusanku. Tapi dia hanya diam. Diam sambil menatap mataku.
Rasanya sakit di tatap oleh orang yang kau sayangi namun tak lagi menjadi milikmu. Ku harap ia bertanya apa alasanku memutuskan hubungan kami yang sudah terjalin selama 8 bulan lebih ini. Tapi ia tetap diam.
“Kamu jadi beda. Kita sudah 2 minggu tak saling bicara. Kita cuek satu sama lain. Bahkan saat kita lagi berdua, kita sibuk sama pikiran masing-masing! Kita udah nggak ada komunikasi Lissie!”
Lissie hanya diam dan tetap menatapku.
“Aku enggak bisa gini terus, mungkin kita harus berpisah dulu, mungkin ini yang terbaik untuk kita” kataku. Sungguh aku tak ingin mengucapkan kata-kata itu, aku sungguh ingin ini hanya mimpi burukku dan aku akan terbangun dan dapat melihat senyum manis Lissie lagi.
“Jadi menurut kamu ini yang terbaik?” tanya Lissie dengan mata yang berkaca-kaca. Sungguh aku tak bisa melihat Lissie menangis, apalagi karena aku.
“Mungkin” kataku. “Kalau kita sudah berpikir, mungkin nanti kita bisa balik lagi”
“Nanti? Apa nanti kita bisa balik lagi? Apa yang bisa menjamin Al?”
“A-aku enggak tahu. Tapi aku berharap kita bisa balik lagi”
Air mata Lissie jatuh dan mengalir ke pipinya yang halus. Aku ingin sekali memeluknya, menghapus air mata dan kesedihannya. Tapi kalau aku melakukannya, aku takkan sanggup melepasnya lagi. Air mata yang jatuh semakin banyak. Sungguh aku tak kuat melihatnya. Aku berbalik badan. Aku ingin segera pergi dari sini. Pergi sejauh mungkin untuk menenangkan hatiku yang terus berteriak menginginkan Lissie kembali.
“Aldo..” panggil Lissie lirih. Hatiku perih mendengarnya. Aku berbalik dan menatap matanya. Sungguh sulit untukku untuk bisa menatap matanya yang merah dan basah.
Secara tiba-tiba Lissie memelukku. Sangat erat. Akupun tak sanggup menahan rasa ingin memeluknya juga. Mungkin siswa-siswa lain aneh melihat kami berdiri dan berpelukan di depan kelas kami sore-sore begini.
Pelukan hangat yang amat ku rindukan. Aku tak ingin melepas pelukan ini. Sungguh. Aku sungguh tak ingin melepasnya tapi ia melepas pelukan ini. Ia tersenyum padaku namun air matanya tetap mengalir.
“Tak ku sangka aku akan menyerahkan surat ini secepat ini” katanya sambil menyerakan surat berwarna pink dengan namaku di atasnya. Dia menghela napas panjang dan menghapus airmatanya. Ia kembali menatapku. Tatapan yang takkan kulupukan selamanya. Karena aku bisa membaca dari matanya ‘aku sayang…’. Belum pernah kulihat Lissie begitu cantik sebelumnya. Sungguh. Ia cantik saat ini.
Ia mengecupku singkat dan pergi meninggalkan ku. Ku tatap punggunggnya selagi ia menjauh dariku. Sosok yang akan kurindukan selamanya. Aku duduk di kursi depan kelasku dan mulai membaca suratnya:
Aldo sayang..mungkin saat kamu baca ini aku sudah tidak ada di sisimu lagi. Aku harus pergi jauh meninggalkanmu. Maaf..akhir-akhir ini aku membuatmu bingung dan kecewa akan sikapku. Akupun bingung dengan diriku sendiri. Aku akan pergi ke Jerman untuk operasi Al, maaf selama ini aku nggak bilang, tapi aku memiliki kanker di hatiku dan semakin hari makin menggerogoti hatiku. Peluang operasi inipun hanya 50%, tapi aku sudah lelah menahan rasa sakit ini Al, aku mohon kamu ngertiin aku Al. terima kasih ya Al, selama ini kamu telah memberikanku banyak kenangan indah. Sungguh aku sangat berterima kasih, selama bersama kamu, hatiku jarang sekali sakit, karena itu aku tak ingin menyakitimu lebih jauh, aku harus pergi Al, selama ini aku berpikir bagaimana caranya menyampaikan hal ini padamu.
Setiap aku melihatmu aku merasa bersalah, aku tak tahu harus bilang apa padamu, aku hanya bisa diam. Sekali lagi maaf Al…kamu pemilik hatiku yang pertama dan terakhir Al, selamanya hatiku ini hanya punya kamu, maaf kalau aku menyakitimu, setulus hati ku katakana, Al…aku sayang kamu, selamanya…
Air mataku jatuh. Aku langsung berlari mengejar Lissie, namun tak dapat ku temukan. Aku langsung mengambil motorku dan pergi ke rumahnya, rumahnya sudah kosong. Ponselnya tak dapat ku hubungi. Aku bertanya kepada semua teman dekatnya tapi tak ada yang tau keberadaan Lissie. Aku terduduk di depan pintu pagar rumah Lissie, tepat disini aku menyatakan perasaanku pada Lissie, tempat special kami, untuk selamanya…
Sejak itu aku tak pernah lagi bertemu dengan Lissie, tak terasa sudah hapir sepuluh tahun berlalu. Hanya surat Lissie peninggalan terakhir darinya. Namun tentang Lissie, aku masih ingat semuanya, cara ia tersenyum, parfum yang ia gunakan, makanan faforitnya, sampai wangi sampo yang ia gunakan.
Saat ini aku sudah menjadi dokter spesialis, aku membawa bunga mawar putih kesukaan Lissie. Ponselku berbunyi, “Halo? Ya sayang, aku akan segera kesana, aku sedang ada urusan, iya-iya, bye, love you”
Aku memasukan ponselku ke dalam saku, jas dokter kulepas lalu ku pegang, aku duduk di depan suatu pusara. “Lissie, apa kabar? Malam ini aku akan melamar calon isriku, tolong dukungannya, ini aku bawain mawar. Mungkin hari ini hari terakhir aku kesini, setiap pergi kesini sepertinya calon istriku sedikit sakit hati, dan aku tak ingin menyakitinya, karena ia yang menyembukan luka hatiku, jadi selamat tinggal”
Aku meninggalkan pusara Lissie, walau aku sungguh menyangi calon istriku, tapi ada suatu tempat yang tak bisa di jangkaunya dalam hatiku, tempat yang hanya dimiliki satu orang, yaitu Lissie. Lissie…aku sayang kamu…
Rasanya sakit di tatap oleh orang yang kau sayangi namun tak lagi menjadi milikmu. Ku harap ia bertanya apa alasanku memutuskan hubungan kami yang sudah terjalin selama 8 bulan lebih ini. Tapi ia tetap diam.
“Kamu jadi beda. Kita sudah 2 minggu tak saling bicara. Kita cuek satu sama lain. Bahkan saat kita lagi berdua, kita sibuk sama pikiran masing-masing! Kita udah nggak ada komunikasi Lissie!”
Lissie hanya diam dan tetap menatapku.
“Aku enggak bisa gini terus, mungkin kita harus berpisah dulu, mungkin ini yang terbaik untuk kita” kataku. Sungguh aku tak ingin mengucapkan kata-kata itu, aku sungguh ingin ini hanya mimpi burukku dan aku akan terbangun dan dapat melihat senyum manis Lissie lagi.
“Jadi menurut kamu ini yang terbaik?” tanya Lissie dengan mata yang berkaca-kaca. Sungguh aku tak bisa melihat Lissie menangis, apalagi karena aku.
“Mungkin” kataku. “Kalau kita sudah berpikir, mungkin nanti kita bisa balik lagi”
“Nanti? Apa nanti kita bisa balik lagi? Apa yang bisa menjamin Al?”
“A-aku enggak tahu. Tapi aku berharap kita bisa balik lagi”
Air mata Lissie jatuh dan mengalir ke pipinya yang halus. Aku ingin sekali memeluknya, menghapus air mata dan kesedihannya. Tapi kalau aku melakukannya, aku takkan sanggup melepasnya lagi. Air mata yang jatuh semakin banyak. Sungguh aku tak kuat melihatnya. Aku berbalik badan. Aku ingin segera pergi dari sini. Pergi sejauh mungkin untuk menenangkan hatiku yang terus berteriak menginginkan Lissie kembali.
“Aldo..” panggil Lissie lirih. Hatiku perih mendengarnya. Aku berbalik dan menatap matanya. Sungguh sulit untukku untuk bisa menatap matanya yang merah dan basah.
Secara tiba-tiba Lissie memelukku. Sangat erat. Akupun tak sanggup menahan rasa ingin memeluknya juga. Mungkin siswa-siswa lain aneh melihat kami berdiri dan berpelukan di depan kelas kami sore-sore begini.
Pelukan hangat yang amat ku rindukan. Aku tak ingin melepas pelukan ini. Sungguh. Aku sungguh tak ingin melepasnya tapi ia melepas pelukan ini. Ia tersenyum padaku namun air matanya tetap mengalir.
“Tak ku sangka aku akan menyerahkan surat ini secepat ini” katanya sambil menyerakan surat berwarna pink dengan namaku di atasnya. Dia menghela napas panjang dan menghapus airmatanya. Ia kembali menatapku. Tatapan yang takkan kulupukan selamanya. Karena aku bisa membaca dari matanya ‘aku sayang…’. Belum pernah kulihat Lissie begitu cantik sebelumnya. Sungguh. Ia cantik saat ini.
Ia mengecupku singkat dan pergi meninggalkan ku. Ku tatap punggunggnya selagi ia menjauh dariku. Sosok yang akan kurindukan selamanya. Aku duduk di kursi depan kelasku dan mulai membaca suratnya:
Aldo sayang..mungkin saat kamu baca ini aku sudah tidak ada di sisimu lagi. Aku harus pergi jauh meninggalkanmu. Maaf..akhir-akhir ini aku membuatmu bingung dan kecewa akan sikapku. Akupun bingung dengan diriku sendiri. Aku akan pergi ke Jerman untuk operasi Al, maaf selama ini aku nggak bilang, tapi aku memiliki kanker di hatiku dan semakin hari makin menggerogoti hatiku. Peluang operasi inipun hanya 50%, tapi aku sudah lelah menahan rasa sakit ini Al, aku mohon kamu ngertiin aku Al. terima kasih ya Al, selama ini kamu telah memberikanku banyak kenangan indah. Sungguh aku sangat berterima kasih, selama bersama kamu, hatiku jarang sekali sakit, karena itu aku tak ingin menyakitimu lebih jauh, aku harus pergi Al, selama ini aku berpikir bagaimana caranya menyampaikan hal ini padamu.
Setiap aku melihatmu aku merasa bersalah, aku tak tahu harus bilang apa padamu, aku hanya bisa diam. Sekali lagi maaf Al…kamu pemilik hatiku yang pertama dan terakhir Al, selamanya hatiku ini hanya punya kamu, maaf kalau aku menyakitimu, setulus hati ku katakana, Al…aku sayang kamu, selamanya…
Air mataku jatuh. Aku langsung berlari mengejar Lissie, namun tak dapat ku temukan. Aku langsung mengambil motorku dan pergi ke rumahnya, rumahnya sudah kosong. Ponselnya tak dapat ku hubungi. Aku bertanya kepada semua teman dekatnya tapi tak ada yang tau keberadaan Lissie. Aku terduduk di depan pintu pagar rumah Lissie, tepat disini aku menyatakan perasaanku pada Lissie, tempat special kami, untuk selamanya…
Sejak itu aku tak pernah lagi bertemu dengan Lissie, tak terasa sudah hapir sepuluh tahun berlalu. Hanya surat Lissie peninggalan terakhir darinya. Namun tentang Lissie, aku masih ingat semuanya, cara ia tersenyum, parfum yang ia gunakan, makanan faforitnya, sampai wangi sampo yang ia gunakan.
Saat ini aku sudah menjadi dokter spesialis, aku membawa bunga mawar putih kesukaan Lissie. Ponselku berbunyi, “Halo? Ya sayang, aku akan segera kesana, aku sedang ada urusan, iya-iya, bye, love you”
Aku memasukan ponselku ke dalam saku, jas dokter kulepas lalu ku pegang, aku duduk di depan suatu pusara. “Lissie, apa kabar? Malam ini aku akan melamar calon isriku, tolong dukungannya, ini aku bawain mawar. Mungkin hari ini hari terakhir aku kesini, setiap pergi kesini sepertinya calon istriku sedikit sakit hati, dan aku tak ingin menyakitinya, karena ia yang menyembukan luka hatiku, jadi selamat tinggal”
Aku meninggalkan pusara Lissie, walau aku sungguh menyangi calon istriku, tapi ada suatu tempat yang tak bisa di jangkaunya dalam hatiku, tempat yang hanya dimiliki satu orang, yaitu Lissie. Lissie…aku sayang kamu…
cerpen: hanya sahabat
“Karin!” panggil Vino, sahabatku selama tiga tahun belakangan ini. Aku berbalik dan dia menghampiriku. “Gimana kencan sama Hari kemaren?”
“Kacau, ternyata dia narsis banget! Males banget deh sama cowo kaya gitu.”
“Hahaha, ternyata emang Cuma gw yang bisa bener-bener bikin lo jatuh cinta.”
“Iya! Sayang lo udah punya pacar.” Kataku sambil tertawa
Lalu perjalanan kami sampai ke kelas diisi percakapan seru tentang apapun, kami selalu ada topik pembicaran. Vino sungguh lelaki sempurna dimataku, dia tampan dan pintar juga jago olahraga. Selera humornya bagus dan sangat mengerti aku.
Aku benar-benar menyukainya, bahkan awal persahabatan kami karena aku menyatakan rasa sukaku pada-nya, tentu saja ia menolakku saat itu dan sejak itu kami mulai dekat dan bahkan sampai bersahabat.
Aku duduk di tempat dudukku dan Vino duduk di tempat duduknya, yaitu di sebelahku. “Gw ke kantin dulu ya, mau nitip apa sayang?” tanyanya sambil bercanda
“Nitip air putih aja, thanks honey” jawabku sambil tersenyum. Vino berlalu dan Tara, sahabatku yang lain menghampiriku.
“Ckckck, kenapa sih lo bedua nggak jadian aja?”
“Gw cuma sahabatnya Tar, nggak lebih.”
“Gini ya Rin, lo itu udah sering ngedate ma dia, lo bedua deket banget dan tau sifat masing-masing, lo juga udah kaya anak kembar yang kemana-kemana bedua, seluruh sekolah juga tau kalo elo itu punya dia dan dia punya lo.”
Aku tertawa. “Engak Tar, jujur gw emang suka sama dia, tapi dia enggak suka sama gw.”
“Ga suka sama lo?” tanya Tara bingung. “Tapi dia tuh care banget sama lo Rin dan gw pikir dia juga sama lo”
“Lo salah Tar, dia suka sama gw hanya sebagai sahabat, lagipula dia udah punya pacar yang nggak bisa gw saingin.”
“Nggak bisa lo saiangin gimana? Lo cantik Rin, badan lo juga bagus kok, emangnya siapa sih pacarnya?”
“Pacarnya seorang model Tar”
Tara baru saja ingin membuka mulutnya untuk bertanya siapa pacarya itu namun Vino sudah kembali dari kantin. “Sedang ngobrol apa nih? Kayanya seru.”
“Ada deehhh” jawab Tara lalu beranjak dari tempat duduk Vino dan Vinopun duduk. “Nih Air putihnya.”
“Makasih”
Aku memperhatikan wajah laki-laki di sebelahku ini, sungguh tampan, kulitnya putih dan berhidung mancung, rambutnya juga halus dan badannya tinggi. Vino mengambil ponselnya dan mendapati ponselnya tidak ada pesan ataupun panggilan tak terjawab. Vino mengehela napas panjang.
“Kenapa Vin?”
“Udah tiga hari dia enggak ngehubungi gw, padahal gw sms tapi enggak di bales, gw telpon tapi enggak dijawab”
“Mungkin dia lagi sibuk kali, dia lagi ada di Singapura khan? Tunggu aja”
“Tapi enggak biasanya dia kaya gini.”
“Percaya sama gw, dia pasti ngehubungi lo cepat atau lambat”
“Moga-moga aja begitu”
“Pasti begitu, gw tahu Toni kok, dia sayang sama lo, jadi tunggu aja ya”
“Oke..” kata Vino akhirnya sambil membuka buku fisika karena pelajaran akan segera dimulai.
“Kacau, ternyata dia narsis banget! Males banget deh sama cowo kaya gitu.”
“Hahaha, ternyata emang Cuma gw yang bisa bener-bener bikin lo jatuh cinta.”
“Iya! Sayang lo udah punya pacar.” Kataku sambil tertawa
Lalu perjalanan kami sampai ke kelas diisi percakapan seru tentang apapun, kami selalu ada topik pembicaran. Vino sungguh lelaki sempurna dimataku, dia tampan dan pintar juga jago olahraga. Selera humornya bagus dan sangat mengerti aku.
Aku benar-benar menyukainya, bahkan awal persahabatan kami karena aku menyatakan rasa sukaku pada-nya, tentu saja ia menolakku saat itu dan sejak itu kami mulai dekat dan bahkan sampai bersahabat.
Aku duduk di tempat dudukku dan Vino duduk di tempat duduknya, yaitu di sebelahku. “Gw ke kantin dulu ya, mau nitip apa sayang?” tanyanya sambil bercanda
“Nitip air putih aja, thanks honey” jawabku sambil tersenyum. Vino berlalu dan Tara, sahabatku yang lain menghampiriku.
“Ckckck, kenapa sih lo bedua nggak jadian aja?”
“Gw cuma sahabatnya Tar, nggak lebih.”
“Gini ya Rin, lo itu udah sering ngedate ma dia, lo bedua deket banget dan tau sifat masing-masing, lo juga udah kaya anak kembar yang kemana-kemana bedua, seluruh sekolah juga tau kalo elo itu punya dia dan dia punya lo.”
Aku tertawa. “Engak Tar, jujur gw emang suka sama dia, tapi dia enggak suka sama gw.”
“Ga suka sama lo?” tanya Tara bingung. “Tapi dia tuh care banget sama lo Rin dan gw pikir dia juga sama lo”
“Lo salah Tar, dia suka sama gw hanya sebagai sahabat, lagipula dia udah punya pacar yang nggak bisa gw saingin.”
“Nggak bisa lo saiangin gimana? Lo cantik Rin, badan lo juga bagus kok, emangnya siapa sih pacarnya?”
“Pacarnya seorang model Tar”
Tara baru saja ingin membuka mulutnya untuk bertanya siapa pacarya itu namun Vino sudah kembali dari kantin. “Sedang ngobrol apa nih? Kayanya seru.”
“Ada deehhh” jawab Tara lalu beranjak dari tempat duduk Vino dan Vinopun duduk. “Nih Air putihnya.”
“Makasih”
Aku memperhatikan wajah laki-laki di sebelahku ini, sungguh tampan, kulitnya putih dan berhidung mancung, rambutnya juga halus dan badannya tinggi. Vino mengambil ponselnya dan mendapati ponselnya tidak ada pesan ataupun panggilan tak terjawab. Vino mengehela napas panjang.
“Kenapa Vin?”
“Udah tiga hari dia enggak ngehubungi gw, padahal gw sms tapi enggak di bales, gw telpon tapi enggak dijawab”
“Mungkin dia lagi sibuk kali, dia lagi ada di Singapura khan? Tunggu aja”
“Tapi enggak biasanya dia kaya gini.”
“Percaya sama gw, dia pasti ngehubungi lo cepat atau lambat”
“Moga-moga aja begitu”
“Pasti begitu, gw tahu Toni kok, dia sayang sama lo, jadi tunggu aja ya”
“Oke..” kata Vino akhirnya sambil membuka buku fisika karena pelajaran akan segera dimulai.
cerpen : Pagi penuh perjuangan.
Waktu menunjukan pukul setengah tujuh pagi, namun Anggi masih saja terlelap tidur dibalik selimutnya. Walaupun alarm handphone sudah berbunyi tiga kali tetap saja ia enggan untuk bangun.
Saat matanya terbuka dan melihat ke arah jam, kontan Anggie langsung berteriak.
“ARRRGGHHH!!!!! Gila! Telat gw!”
Anggi langsung menuju kamar mandi, mencuci muka dan sikat gigi. Tanpa mandi ia langsung memakai seragam dan minyak wangi. Dengan asal saja mengambil buku pelajaran yang ada di meja belajar dan langsung turun dari kamar menuju ruang makan.
Dilihatnya meja makan yang masih kosong.
“MAA!!! Sarapannya mana??”
“Lho?? Kamu sekolah hari ini? Mama kira libur, jadinya mama nggak bikin sarapan buat kamu, khan biasanya kamu bangun siang” kata mama dari halaman sambil menyiram bunga.
“Aduuuhh! Gimana nih?”
Dilihatnya sekali lagi jam dinding, 15 menit lagi gerbang sekolahnya akan di tutup. Asal saja dia memakai kaos kaki dan sepatu seadanya, yang ada di depannya ia pakai. Sembil setengah berlari ia memanggil taksi yang lalu-lalang di jalan raya di depan gang rumahnya. Namun tak satupun berhenti. Dalam benak Anggi satu menit bagaikan 1 jam. Keringat mengalir di pelipisnya. Akhirnya ada juga taksi yang berhenti.
“SMA 81 Pak! Cepet ya, ngebut!” katanya seraya masuk ke dalam taksi
“Kemana neng?”
“SMA 81 Pak!”
“Oh iya-iya”
Anggi menghela napas panjang, gw pasti nyampe tepat waktu, pikirnya. Namun tak lama Anggi dapat menikmati dinginnya AC, karena jalanan di depannya macet. Dia berpikir keras bagaimana caranya ia sampai tepat waktu. Dilihatnya pangkalan ojek di ujung jalan.
“Saya turun sini Pak, nih uangnya” kata Anggi langsng melesat menuju pangkalan ojek.
Ia sangat bersemangat karena bila dengan ojek, pasti ia akan sampai walalupun jalan di depan macet. Tapi yang tersisa hanyalah motor tua dengan pengendara yang tak kalah tuanya.
“Ojek Neng?” tanya pak tua
“Iya Pak, ke sma 81 ya!”
“Beres”
Motor itu berjalan amat pelan dan tak berani untuk menyalip.
“Bisa lebih cepet nggak Pak?”
“Segini paling cepet Neng, entar malah mogok lagi”
Dengan amarah sudah sampai ubun-ubun dia menyuruh Pak Tua itu untuk bertukar tempat dengannya. Saat stang motor sudah dalam genggamannya, langsung saja ia tancap gas tanpa memikirkan perasaan orang yang duduk di belakangnya. Anggi berbelok ke kana dan ke kiri menghindari mobil-mobil, akhirnya ia berhenti saat lampu merah.
“Nggak keburu nih kalo nunggu lampu merah, tancap aja ya Pak!” sahutnya sambil menerobos lampu merah tanpa ia sadari ada polisi yang melihat mereka.
“Duh Neng, ada polisi ngejar kita Neng!”
Merasa terpojok akhirnya Anggi ngebut sekencang-kencangnya. Tinggal beberapa belokan lagi ia akan sampai ke depan sekolahnya. Namun apa daya, motor yang dia pakai tiba-tiba menurun kecepatannya lalu berhenti dan mogok! Dengan perasaan takut telat dan polisi yang mengejar mereka tanpa pikir panjang Angi langsung memberikan uang lima puluh ribu kepada Pak Tua itu dan langsung berlari.
“Urusan polisi itu bapak yang urus yaaa! Makasih ya Pak! DAGH!!!” teriaknya
Pak Tua itupun tak mampu lagi menghindar dari si polisi. Dengan segenap tekad dan kemapuan, Anggi berlari secepat yang ia mampu. Satu belokan…dua belokan…tiga belokan. Tinggal satu tikungan lagi ia akan sampai di sekolahnya. Tiga menit lagi ia masuk. Anggi berhenti sebentar mengambil napas. Tanpa disadari ia berdiri di samping genangan air dan pada saat mobil lewat, ia-pun terguyur oleh cipratan genangan air tersebut. Seluruh tubuhnya basah. Namun waktu tetap berlalu. Anggi akhirnya mengalah dan memutuskan untuk berlari daripada memaki pengendara mobil tersebut.
Belokan terakhir sudah terlewati, pintu gerbang sudah terlihat. Dua menit lagi.. Anggi terus berlari walaupu kakinya amat sakit. Satu menit lagi…walalu dengan baju basah kuyup ia tetap berlari. 40 detik…sepatunya terasa amat menyiksa kakinya. 10detik lagi…dan sampai lah dia di dalam sekolah.
“SAMPEEE!!!!!!” teriaknya puas
Dilihatnya jam, pas sekali pukul tujuh. Namun keadaan sekolah masih sepi, bahkan terlalu sepi.
“Kok dateng ke sekolah Non?” Tanya Pak Imron, satpam sekolah
“Hah?” tanya Anggi yang terengah-engah
“Saya tanya, kok Non dateng ke sekolah? Sekarang khan sekolah libur Non!”
Anggi langsung jatuh terduduk di tempatnya berdiri. Terbayang semua perjuangannya untuk sampai di sekolah yang—yang ternyata libur!
“AAARRRRRRGGGGHHHHHHHH!!!!!!!!!!!!!”
Saat matanya terbuka dan melihat ke arah jam, kontan Anggie langsung berteriak.
“ARRRGGHHH!!!!! Gila! Telat gw!”
Anggi langsung menuju kamar mandi, mencuci muka dan sikat gigi. Tanpa mandi ia langsung memakai seragam dan minyak wangi. Dengan asal saja mengambil buku pelajaran yang ada di meja belajar dan langsung turun dari kamar menuju ruang makan.
Dilihatnya meja makan yang masih kosong.
“MAA!!! Sarapannya mana??”
“Lho?? Kamu sekolah hari ini? Mama kira libur, jadinya mama nggak bikin sarapan buat kamu, khan biasanya kamu bangun siang” kata mama dari halaman sambil menyiram bunga.
“Aduuuhh! Gimana nih?”
Dilihatnya sekali lagi jam dinding, 15 menit lagi gerbang sekolahnya akan di tutup. Asal saja dia memakai kaos kaki dan sepatu seadanya, yang ada di depannya ia pakai. Sembil setengah berlari ia memanggil taksi yang lalu-lalang di jalan raya di depan gang rumahnya. Namun tak satupun berhenti. Dalam benak Anggi satu menit bagaikan 1 jam. Keringat mengalir di pelipisnya. Akhirnya ada juga taksi yang berhenti.
“SMA 81 Pak! Cepet ya, ngebut!” katanya seraya masuk ke dalam taksi
“Kemana neng?”
“SMA 81 Pak!”
“Oh iya-iya”
Anggi menghela napas panjang, gw pasti nyampe tepat waktu, pikirnya. Namun tak lama Anggi dapat menikmati dinginnya AC, karena jalanan di depannya macet. Dia berpikir keras bagaimana caranya ia sampai tepat waktu. Dilihatnya pangkalan ojek di ujung jalan.
“Saya turun sini Pak, nih uangnya” kata Anggi langsng melesat menuju pangkalan ojek.
Ia sangat bersemangat karena bila dengan ojek, pasti ia akan sampai walalupun jalan di depan macet. Tapi yang tersisa hanyalah motor tua dengan pengendara yang tak kalah tuanya.
“Ojek Neng?” tanya pak tua
“Iya Pak, ke sma 81 ya!”
“Beres”
Motor itu berjalan amat pelan dan tak berani untuk menyalip.
“Bisa lebih cepet nggak Pak?”
“Segini paling cepet Neng, entar malah mogok lagi”
Dengan amarah sudah sampai ubun-ubun dia menyuruh Pak Tua itu untuk bertukar tempat dengannya. Saat stang motor sudah dalam genggamannya, langsung saja ia tancap gas tanpa memikirkan perasaan orang yang duduk di belakangnya. Anggi berbelok ke kana dan ke kiri menghindari mobil-mobil, akhirnya ia berhenti saat lampu merah.
“Nggak keburu nih kalo nunggu lampu merah, tancap aja ya Pak!” sahutnya sambil menerobos lampu merah tanpa ia sadari ada polisi yang melihat mereka.
“Duh Neng, ada polisi ngejar kita Neng!”
Merasa terpojok akhirnya Anggi ngebut sekencang-kencangnya. Tinggal beberapa belokan lagi ia akan sampai ke depan sekolahnya. Namun apa daya, motor yang dia pakai tiba-tiba menurun kecepatannya lalu berhenti dan mogok! Dengan perasaan takut telat dan polisi yang mengejar mereka tanpa pikir panjang Angi langsung memberikan uang lima puluh ribu kepada Pak Tua itu dan langsung berlari.
“Urusan polisi itu bapak yang urus yaaa! Makasih ya Pak! DAGH!!!” teriaknya
Pak Tua itupun tak mampu lagi menghindar dari si polisi. Dengan segenap tekad dan kemapuan, Anggi berlari secepat yang ia mampu. Satu belokan…dua belokan…tiga belokan. Tinggal satu tikungan lagi ia akan sampai di sekolahnya. Tiga menit lagi ia masuk. Anggi berhenti sebentar mengambil napas. Tanpa disadari ia berdiri di samping genangan air dan pada saat mobil lewat, ia-pun terguyur oleh cipratan genangan air tersebut. Seluruh tubuhnya basah. Namun waktu tetap berlalu. Anggi akhirnya mengalah dan memutuskan untuk berlari daripada memaki pengendara mobil tersebut.
Belokan terakhir sudah terlewati, pintu gerbang sudah terlihat. Dua menit lagi.. Anggi terus berlari walaupu kakinya amat sakit. Satu menit lagi…walalu dengan baju basah kuyup ia tetap berlari. 40 detik…sepatunya terasa amat menyiksa kakinya. 10detik lagi…dan sampai lah dia di dalam sekolah.
“SAMPEEE!!!!!!” teriaknya puas
Dilihatnya jam, pas sekali pukul tujuh. Namun keadaan sekolah masih sepi, bahkan terlalu sepi.
“Kok dateng ke sekolah Non?” Tanya Pak Imron, satpam sekolah
“Hah?” tanya Anggi yang terengah-engah
“Saya tanya, kok Non dateng ke sekolah? Sekarang khan sekolah libur Non!”
Anggi langsung jatuh terduduk di tempatnya berdiri. Terbayang semua perjuangannya untuk sampai di sekolah yang—yang ternyata libur!
“AAARRRRRRGGGGHHHHHHHH!!!!!!!!!!!!!”
Kebanyakan orang hanya ingin, tanpa berusaha
Kita pasti menginginkan banyak hal, kebanyakan hanya ingin dan sebagian kecil ingin dan berusaha. Sebagai contoh, kita ingin masuk perguruan tinggi unggulan, tapi ga pernah mencoba mengerjakan soal-soalnya, ga pernah nyari informasi terkait bagaimana cara masuk ke perguruan tinggi tersebut. Untuk tespun mengandalkan hoki, tanpa benar-benar bejuang sebelumnya. Sayang banget hal-hal kecil kaya gtu kita lakukan, takutnya terbawa sampai usia dewasa nanti.
Inget girls, apa yang kalian tanem, itu yang kalian petik, kalau ga usaha, ya ga akan dapet. Ingat, enggak akan ada usaha yang sia-sia. Saat menginginkan sesuatu, jangan hanya ingin, tapi di ikuti usaha untuk mewujudkannya. Jika kita ingin bisa berenang, mulailah ikut les renang, jika ingin menjadi fashion designer, mulailah mendesign. Mulai dengan hal-hal kecil yang akan membuat kita jadi besar.
Semua orang mempunyai mimpi, tapi kebanyakan nggak mau bangun untuk mewujudkan mimpi itu. Jangan malas menggapai cita-cita yang mungkin akan menjadi your future job. Jangan takut gagal, karena sukses itu adalah 1% ide dan 99% keringat. So girls, angkat kepala kita, tegakan badan, mulai berusaha menggapai impian. Karena kita generasi muda yang berhasil mewujudkan mimpi, bukan generasi pemimpi
Inget girls, apa yang kalian tanem, itu yang kalian petik, kalau ga usaha, ya ga akan dapet. Ingat, enggak akan ada usaha yang sia-sia. Saat menginginkan sesuatu, jangan hanya ingin, tapi di ikuti usaha untuk mewujudkannya. Jika kita ingin bisa berenang, mulailah ikut les renang, jika ingin menjadi fashion designer, mulailah mendesign. Mulai dengan hal-hal kecil yang akan membuat kita jadi besar.
Semua orang mempunyai mimpi, tapi kebanyakan nggak mau bangun untuk mewujudkan mimpi itu. Jangan malas menggapai cita-cita yang mungkin akan menjadi your future job. Jangan takut gagal, karena sukses itu adalah 1% ide dan 99% keringat. So girls, angkat kepala kita, tegakan badan, mulai berusaha menggapai impian. Karena kita generasi muda yang berhasil mewujudkan mimpi, bukan generasi pemimpi
Langganan:
Postingan (Atom)