“Ya sudah, kita putus saja!” kata-kataku itu meluncur begitu saja dari mulutku tanpa bisa ku cegah. Gadis manis yang berada di hadapanku ini terdiam terpaku. Dia hanya diam. Tidak berkata apa-apa. Aku berharap ia menolak keputusanku. Tapi dia hanya diam. Diam sambil menatap mataku.
Rasanya sakit di tatap oleh orang yang kau sayangi namun tak lagi menjadi milikmu. Ku harap ia bertanya apa alasanku memutuskan hubungan kami yang sudah terjalin selama 8 bulan lebih ini. Tapi ia tetap diam.
“Kamu jadi beda. Kita sudah 2 minggu tak saling bicara. Kita cuek satu sama lain. Bahkan saat kita lagi berdua, kita sibuk sama pikiran masing-masing! Kita udah nggak ada komunikasi Lissie!”
Lissie hanya diam dan tetap menatapku.
“Aku enggak bisa gini terus, mungkin kita harus berpisah dulu, mungkin ini yang terbaik untuk kita” kataku. Sungguh aku tak ingin mengucapkan kata-kata itu, aku sungguh ingin ini hanya mimpi burukku dan aku akan terbangun dan dapat melihat senyum manis Lissie lagi.
“Jadi menurut kamu ini yang terbaik?” tanya Lissie dengan mata yang berkaca-kaca. Sungguh aku tak bisa melihat Lissie menangis, apalagi karena aku.
“Mungkin” kataku. “Kalau kita sudah berpikir, mungkin nanti kita bisa balik lagi”
“Nanti? Apa nanti kita bisa balik lagi? Apa yang bisa menjamin Al?”
“A-aku enggak tahu. Tapi aku berharap kita bisa balik lagi”
Air mata Lissie jatuh dan mengalir ke pipinya yang halus. Aku ingin sekali memeluknya, menghapus air mata dan kesedihannya. Tapi kalau aku melakukannya, aku takkan sanggup melepasnya lagi. Air mata yang jatuh semakin banyak. Sungguh aku tak kuat melihatnya. Aku berbalik badan. Aku ingin segera pergi dari sini. Pergi sejauh mungkin untuk menenangkan hatiku yang terus berteriak menginginkan Lissie kembali.
“Aldo..” panggil Lissie lirih. Hatiku perih mendengarnya. Aku berbalik dan menatap matanya. Sungguh sulit untukku untuk bisa menatap matanya yang merah dan basah.
Secara tiba-tiba Lissie memelukku. Sangat erat. Akupun tak sanggup menahan rasa ingin memeluknya juga. Mungkin siswa-siswa lain aneh melihat kami berdiri dan berpelukan di depan kelas kami sore-sore begini.
Pelukan hangat yang amat ku rindukan. Aku tak ingin melepas pelukan ini. Sungguh. Aku sungguh tak ingin melepasnya tapi ia melepas pelukan ini. Ia tersenyum padaku namun air matanya tetap mengalir.
“Tak ku sangka aku akan menyerahkan surat ini secepat ini” katanya sambil menyerakan surat berwarna pink dengan namaku di atasnya. Dia menghela napas panjang dan menghapus airmatanya. Ia kembali menatapku. Tatapan yang takkan kulupukan selamanya. Karena aku bisa membaca dari matanya ‘aku sayang…’. Belum pernah kulihat Lissie begitu cantik sebelumnya. Sungguh. Ia cantik saat ini.
Ia mengecupku singkat dan pergi meninggalkan ku. Ku tatap punggunggnya selagi ia menjauh dariku. Sosok yang akan kurindukan selamanya. Aku duduk di kursi depan kelasku dan mulai membaca suratnya:
Aldo sayang..mungkin saat kamu baca ini aku sudah tidak ada di sisimu lagi. Aku harus pergi jauh meninggalkanmu. Maaf..akhir-akhir ini aku membuatmu bingung dan kecewa akan sikapku. Akupun bingung dengan diriku sendiri. Aku akan pergi ke Jerman untuk operasi Al, maaf selama ini aku nggak bilang, tapi aku memiliki kanker di hatiku dan semakin hari makin menggerogoti hatiku. Peluang operasi inipun hanya 50%, tapi aku sudah lelah menahan rasa sakit ini Al, aku mohon kamu ngertiin aku Al. terima kasih ya Al, selama ini kamu telah memberikanku banyak kenangan indah. Sungguh aku sangat berterima kasih, selama bersama kamu, hatiku jarang sekali sakit, karena itu aku tak ingin menyakitimu lebih jauh, aku harus pergi Al, selama ini aku berpikir bagaimana caranya menyampaikan hal ini padamu.
Setiap aku melihatmu aku merasa bersalah, aku tak tahu harus bilang apa padamu, aku hanya bisa diam. Sekali lagi maaf Al…kamu pemilik hatiku yang pertama dan terakhir Al, selamanya hatiku ini hanya punya kamu, maaf kalau aku menyakitimu, setulus hati ku katakana, Al…aku sayang kamu, selamanya…
Air mataku jatuh. Aku langsung berlari mengejar Lissie, namun tak dapat ku temukan. Aku langsung mengambil motorku dan pergi ke rumahnya, rumahnya sudah kosong. Ponselnya tak dapat ku hubungi. Aku bertanya kepada semua teman dekatnya tapi tak ada yang tau keberadaan Lissie. Aku terduduk di depan pintu pagar rumah Lissie, tepat disini aku menyatakan perasaanku pada Lissie, tempat special kami, untuk selamanya…
Sejak itu aku tak pernah lagi bertemu dengan Lissie, tak terasa sudah hapir sepuluh tahun berlalu. Hanya surat Lissie peninggalan terakhir darinya. Namun tentang Lissie, aku masih ingat semuanya, cara ia tersenyum, parfum yang ia gunakan, makanan faforitnya, sampai wangi sampo yang ia gunakan.
Saat ini aku sudah menjadi dokter spesialis, aku membawa bunga mawar putih kesukaan Lissie. Ponselku berbunyi, “Halo? Ya sayang, aku akan segera kesana, aku sedang ada urusan, iya-iya, bye, love you”
Aku memasukan ponselku ke dalam saku, jas dokter kulepas lalu ku pegang, aku duduk di depan suatu pusara. “Lissie, apa kabar? Malam ini aku akan melamar calon isriku, tolong dukungannya, ini aku bawain mawar. Mungkin hari ini hari terakhir aku kesini, setiap pergi kesini sepertinya calon istriku sedikit sakit hati, dan aku tak ingin menyakitinya, karena ia yang menyembukan luka hatiku, jadi selamat tinggal”
Aku meninggalkan pusara Lissie, walau aku sungguh menyangi calon istriku, tapi ada suatu tempat yang tak bisa di jangkaunya dalam hatiku, tempat yang hanya dimiliki satu orang, yaitu Lissie. Lissie…aku sayang kamu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar